Oleh: "DHP"
Aku mau pulang,
membawa sebuah bingkisan, berwarna merah jambu beraroma manis, sama sekali
tidak romantis, karena aku membungkusnya ketika sedang gerimis, aku
bungkus dengan kertas hitam, karena
langit terlihat muram, kulihat awan-awan datang, membawa gemercik tanpa hujan
yang tak kunjung datang, kulihat semuanya menjadi suram, termasuk hutan-hutan,
di dekat hutan ada sungai, airnya mengalir lembut bagaikan selimut, hati yang
dingin juga butuh selimut, selimut tidak harus lembut, yang penting dirajut
oleh tangan seorang pelaut, bingkisan itu aku letakkan, pada sebuah altar
berbentuk segidelapan, udara malam mulai dingin sayang, maukah engkau memakai
selimut, yang dibuat dari goresan crayon merah marun, tapi aku lebih suka biru
muda, karena itu warna langit, langit menghubungkan hati, lihatlah kesana jika
hatimu ingin terhubung, disana ada sebuah awan, yang berwarna putih kelabu,
seperti warna matamu ketika termenung, kenapa tidak berwarna coklat muda,
mungkin sedikit gelap, karena coklat mengingatkanku akan sesuatu, yaitu warna matamu.
Air laut itu
asin, suatu hari aku bermain air, dan aku terbawa ombak, aku sadar aku bukan
perenang, sudah pasti aku akan tenggelam, kala itu ada yang berbeda, pada
bibirku, aku tersenyum, manis sekali, mulai menelan air laut, lidahku asin tapi
senyumku tidak, aku jadi ingat pohon, pohon yang teduh di kala terik, anginnya
sejuk, aku berkeringat, semula aku menyesal, itu akan membasahi bajuku, dan
membuatnya kotor, angin dari pohon menghapus sesal, rasanya enak, bila keringat
bertemu angin, rasanya dingin, seperti air sungai, sungai di kaki bukit, aku
bermain air, kali ini hanya kakiku, kakiku bermain air, ah ini cuma sungai, ada
ikan-ikan kecil, mereka bermain, aku menggerakkan jemari kakiku, di atas bukit
ada sepasang burung, mereka serasi sekali, begitu alami, tidak romantis, tapi
begitu alami, mereka bahagia, bertengger di pohon anggur, di pohon sebelahnya
ada kumbang, posisinya tidak biasa, seperti orang sujud, ternyata ia sedang
minum, air itu berasal dari embun, embun itu menempel di punggungnya, itulah
mengapa ia bersujud, supaya air dari embun mengalir, mengalir ke mulutnya,
melepas dahaga, ternyata masih pagi, kumbang itu memang sedang bersujud,
rupanya ia tengah bersyukur, atas embun yang diberikan Tuhan pagi itu, air mataku
meleleh, dadaku sesak, aku ingin pulang.
Aku pulang,
halaman rumahku bersih sekali, mungkin karena ibu, disana ada banyak buah, ada
buah apel, buah favoritku adalah apel, tapi tidak ada pisang atau jeruk, aku mengambil
apel, aku memakannya, lalu aku berbaring di atas rumput, tiba-tiba aku
mengantuk, dan aku bermimpi, tentang sebuah perhiasan, bentuknya sangat aneh,
aku belum pernah melihatnya, mungkin sejenis permata, berwarna hijau, indah sekali, seperti warna daun pada pohon, pohon
yang berada di atas bukit, lalu aku terlelap, aku mengigau, itu kata ibuku, aku
menyebutkan sebuah nama, aku lupa, namanya indah, aku jadi merasa gundah, siapa
pemilik sebuah nama, yang memancarkan sebuah cahaya, cahaya bulan menusukku,
dengan ribuan pertanyaan, itu lirik sebuah lagu, lagu favoritku, tentang
manusia yang mencari hakikat, mencari tahu siapa dirinya, dengan segala daya
dan upaya, dekatkanlah dirimu kepada Tuhan, juga kepada alam, maka engkau akan
tahu, siapa dirimu yang sebenarnya, lagi-lagi lirik lagu, aku memang tidak
kreatif, aku tidak pandai bersyair, kewajibanku banyak, tapi waktuku tidak,
hatiku gelisah, mungkin sudah waktunya berdiri, mencari jawaban kegelisahan
hati, itu juga lirik sebuah lagu, kapan aku bisa menciptakan syairku sendiri,
aku sudah bangun, aku sudah di rumah, aku sudah pulang. Sekian