Saturday, May 26, 2012

Aku tak mengerti


Aku.. seperti berada pada sebuah perjalanan. Perjalanan panjang, jauh dan melelahkan. Perjalanan menuju sebuah titik yang aku menyebutnya titik kemuliaan tertinggi manusia, dimana ia akan menghabiskan hidupnya dan menemukan kebahagiaan sebenarnya.. ‘Rumah Sejati’.

Sekarang, hari ini, di kota ini, dalam perjalanan ini, dalam terik dan badai.. dahaga mengusik, kaki tak mampu lagi menumpu badan.. aku lelah. Aku ingin berhenti. Tapi harusnya aku tak berhenti. Tuhan telah berpesan padaku untuk tidak berhenti sebelum aku menemukan titik itu. Tidak tepat untukku pabila aku berhenti sekarang. Tidak boleh. Tapi aku lelah.. sangat lelah.

Tegak kokoh berdiri di depanku, sebuah pohon besar, lebat, dengan buah-buahan yang menggantung padanya, seolah menjanjikanku kedamaian. Aku pun berhenti, tak menuruti nasihat Tuhan. “Tuhan.. aku mungkin bisa membangun rumah sejatiku dari pohon ini.. ijinkanlah” egoku.
Aku mulai bersandar, melepas penat, berteduh dibawahnya. Menghapus dahaga dengan buah yang ku petik darinya. Manis. Segar. 
Ketika malam datang dan dingin menusuk tulang rusukku, kuambil rantingnya, ku gosok dan menghadirkan api darinya. Hangat. Seperti dalam pelukan. Damai.
Aku merasa benar. Aku benar telah memilih pohon ini untuk kujadikan rumah sejati.. sehingga kutemukan kedamaian dalam dekapannya. Dan memang
aku menemukannya.

Suatu hari, ketika aku harus melewati badai, yang aku tak bisa menolaknya. Aku sadar, tempatku bersandar hanyalah pohon. Aku memeluknya erat berharap agar tidak terbawa badai. Sekuat tenaga ia berdiri kokoh melindungiku agar tetap aman berada di sisinya. Tapi pohon tetaplah pohon, ia tidak bisa menolak takdir Tuhan yang menerbangkan daun-daun dan ranting-rantingnya. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankannya. Badai usai. Ia telah pergi.

Sekarang di sini, hanya tinggal aku, diriku, dan sisa batang yang telah rapuh.. ranting-ranting kecil yang terjatuh tanpa pola. Jelas tak mungkin. Tak mungkin dapat kembali lagi seperti awal.
Aku Tertuduk. Air mataku meleleh seolah tak rela. Memang, aku memang tak rela. Aku mengasihi pohon ini yang telah menaungiku dengan daun-daunnya, menyejukkanku ketika bersandar padanya. Menghapus lelahku dengan kesegaran buahnya. Aku tak rela. Tapi ini takdir Tuhan. Aku merasa ini buruk, tapi Tuhan bilang ini baik. Aku tak mengerti.

Aku diam. Tertunduk masih dengan air mata. Aku menyimpan harapan. Aku panjatkan do’a pada Tuhan, “Yaa Rabb, sesungguhnya Engkau adalah hulu dari segala bentuk kasih, tidak ada aku mengasihinya kecuali karenaMu.. Engkau yang maha mencipta dan memberi hidup.. Semaikan ia dengan kasihmu, kokohkan ia dengan rahmatMu.. ijinkanlah ia menjadi rumah sejati untukku dalam ridhoMu”.

Aku menunggu beberapa waktu. Tidak ada yang berubah. Tidak ada jawaban. Mungkin Tuhan ingin aku melanjutkan perjalananku, menungguku di suatu waktu dengan kebahagiaan sejatiku dalam genggamanNya. Entah, bukan tidak mungkin yang Tuhan genggam adalah benih dari pohon ini yang terbawa badai, menanamnya ditempat yang lebih layak untukku nanti. Tapi bila bukan, semoga Tuhan menyemaikannya di tempat yang indah meskipun mungkin takkan kujumpai lagi.

Iya Tuhan, aku berjanji untuk bangkit. Melanjutkan perjalananku seperti yang Engkau mau. Namun ijinkan aku untuk sejenak di sini. Sebentar lagi. Aku masih ingin di sini. Biarpun luka menyayat tiap memandang sisa garis-garis rapuh itu. Aku masih percaya, aku yakin, Engkau punya akhir yang indah. 

No comments:

Post a Comment